KEWAJIBAN…KERAGUAN…SIAPAKAH TUHAN ITU?

Si anak sedang menyaksikan televisi tatkala bapaknya datang. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang penting yang ingin bapak katakan kepadanya. Keluarga itu baru saja selesai menyantap makan malam mereka bersama dan sang bapak meminta si anak untuk masuk ke dalam sebuah ruangan yang terdekat untuk membicarakan apa yang diinginkan oleh sang bapak. Si Anak sangat penasaran gerangan apa yang ingin dibincangkan oleh bapak. (insial D=Dad panggilan akrab si bapak dan S=Son adalah ungkapan yang terkadang digunakan si bapak ketika memanggil putranya).  

D        Apakah engkau tahu mengapa aku ingin menjumpaimu malam ini, anakku?

S        Tidak Dad. Tapi saya kira ada sesuatu yang penting.

D        Aku telah lama memikirkan dan merencanakan pertemuan ini.

S        Sejak kapan, Dad?

B        Semenjak engkau menginjak usia baligh, kurang lebih setahun yang lalu. Aku telah mempersiapkan sebuah program khusus untukmu.

S        Program apakah itu? Dan apa hubungannya dengan masa balighku?

D        Usia baligh atau pubertas merupakan masa transisi antara masa belia dan masa dewasa, canda dan keseriusan, kebebasan yang tak terbatas dan tanggung jawab, sebagaimana engkau tahu sendiri. Dalam program ini, aku akan menggelar serangkaian diskusi denganmu tentang agama, keyakinan, iman, manusia, masyarakat, semesta dan banyak hal yang harus engkau ketahui makna yang sebenarnya dari masalah tersebut dan membangun sebuah opini, gagasan dan sikap yang sesuai dengan kondisi kedewasaan dan maturitasmu.

S        Trims Dad, karena telah menaruh kepercayaan kepadaku.

D        Anakku, yang pertama-tama menaruh kepercayaan ini adalah Tuhan. Dan bila engkau tidak memiliki kapasitas dan kemampuan, Dia tidak akan menaruh kepercayaan kepadamu dengan membebankan tugas dan kewajiban. Merupakan sebuah kehormatan bahwa manusia sendiri, dari seluruh makhluk di bumi persada ini, dipercayakan dengan berbagai tugas dan kewajiban.

 S        Benar Dad, apa yang Bapak katakana membuatku merasa bangga, dan bertambah cintaku kepada Tuhan lantaran Dia menugasiku dengan tanggung jawab. Saya berharap dapat menjadi seorang hamba Tuhan, mencintai dan patuh kepada-Nya.

D        Baguslah. Seorang hamba yang benar mencintai Tuhan dan tunduk patuh kepada-Nya. Cinta dan ketundukan merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Seorang pujangga berkata, “Seorang pecinta tunduk patuh kepada yang dicintai.”

S        Menurut hematku, mereka yang membangkan titah Tuhan melakukan hal ini lantaran mereka tidak memendam cinta kepada Tuhan dalam hatinya.

D        Tepat sekali, bahkan bagi mereka yang lemah imanya tidak merasakan cinta kepada Tuhan sehingga ketika mereka melakukan kewajiban dan tugas agama, mereka melakukan hal tersebut dengan enggan, dan ketika mereka mengerjakan shalat, mereka mengerjakannya dengan malas.

S        Kemarin, aku membaca ayat in dalam al-Qur’an: “JIka engkau mencinta Allah, ikutilah aku; Allah akan mencintamu.”

D        Apa yang engkau pahami dari ayat ini?

S        Saya memahaminya bahwa terdapa sebuah cinta yang berbalas (mutual love) antara Tuhan dan Mukmin. D        Dan bahwa cinta bermakna ketaatan dan memikul beban derita semata-mata demi yang dicinta. 

S        Aku senang doa dan munajat yang dibacakan Ibu kemarin, doa yang bersumber dari kitab as-Shahifah as-Sajjadiyah dan aku sedang mencoba untuk menghapalnya.

D        Munajat yang mana, son?S        Munajat yang berkata, “….Aku memohon cintamu dan cinta orang yang mencintaiMu; cinta yang membuat seluruh bakti membawaku dekat kepadaMu, lebih aku cintai melebihi yang lain, dan membuat cintaku kepadaMu sebagai penuntun ke firdausMu, dan kegemaranku padaMu sebagai penghalang untuk tidak melanggar titahMu.

D        Munajat ini juga menitikberartkan dan menyoroti pada hubungan cinta dan ketaatan.

S        Tapi Dad, bagaimana kita menemukan cinta Tuhan dalam hati kita?

D        Mudah saja: dengan mengenal-Nya. Jika engkau benar-benar mengenal-Nya, engkau akan menggapai cinta utama.

S    Jadi, langkah pertama adalah mengenal Tuhan.

D        “Pertama-tama dalam beragama adalah makrifat.” Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Nahjul Balagah.   Mengenal Tuhan merupakan perkara pertama dalam beragama, makrifat dan pengenalan ini disyaratkan dengan cinta kepada-Nya. Hal ini adalah persamaan Matematik, nak.

S        Bagaimana?

D        Dalam Matematika, ada sesuatu yang disebut sebagai substitusi ketika berurusan dengan persamaan.

S    Iya, engkau mengingatkanku tentang hal itu. Ketika kita terapkan, kita berkata, Pengetahuan = Agama. Agama = Cinta; dan dengan substitusi kita menemukan bahwa agama adalah cinta, bukankah demikian, Dad?D        Dan demikianlah apa yang disabdakan oleh Imam Shadiq As.

S        Apa  yang ia sabdakan?!

D        Ia bersabda, “Apakah agama itu selain cinta!” Nak, cinta merupakan sesuatu yang terindah di dunia ini.S        Allahu Akbar, Anda berbicara denganku dalam bahasa anak muda, bahasa……,

D        Seorang remaja (ABG)?

S        Baiklah, Dad, aku malu untuk berkata itu.

D        Iya, Aku berbicara denganmu menggunakan bahasa ABG, sebagaimana Rasulullah Saw memerintahkan kita untuk berbicara dengan manusia sesuai dengan cara berpikir mereka. Tuhan mengutus setiap nabi untuk berbicara kepada manusia dengan bahasa mereka sendiri. Lalu mengapa aku tidak berbicara denganmu sebagai seorang ABG?

S        Tepat Dad, hanya dengan bahasanya seseorang akan dapat mengerti. Kalau  tidak, ia tidak ingin berurusan dengan sesuatu. Salah seorang guru kami telah memberikan sebuah buku agama sebagai hadiah. Aku berjuang keras ketika aku hendak membacanya, dan setelah beberapa saat aku menyerah lantaran bahasanya terdengar seperti bahasa moyang kita yang hidup berabad lampau; oleh karena itu, ia tidak ada sangkut-pautnya dengan kehidupan kita hari ini.

D        Hal ini merupakan alasan mengapa sebagian anak muda lari dari agama karena mereka mendapatkan adanya representasi bahasa agama yang mereka mengerti. Masa sekarang adalah masa computer dan internet, dan tidak mungkin menyuguhkan Islam melalui kitab-kitab klasik yang telah ditulis beberapa waktu yang lalu.

S        Alangkah indahnya Anda berbicara, Pak! Aku rasa aku mencintaimu lebih dari sebelumnya dan mencinta Tuhan dan bersyukur kepada-Nya karena telah menganugerahkan kepadaku seorang ayah yang luarbiasa. D        Dan aku kini lebih mencintai Tuhan karena telah menganugerahkan putra sepertimu.

S        Alhamduillah!

D        Puji Tuhan!

S        Kita telah keluar dari tema utama kita, Dad.

D        Sebaliknya, kita telah sampai kepada inti permasalahan… Cintaku kepadamu dan cintaku kepada Tuhan menuntunku untuk berbicara kepada ihwal agama, kehidupan, Tuhan, umat manusia, dunia dan hari kiamat….Aku ingin engkau mempunyai pandangan komprehensif dari seluruh pemikiran yang berkenaan dengan agama setelah engkau mencapai usia baligh.

S        Tapi Dad, Anda telah berdiskusi denganku hampir seluruh isu-isu agama kita, telah menjelaskan pelbagai problem ideologis, telah menerangkan prinsip-prinsip dan komponen agama dan telah menunjukkan kepada kami jalan petunjuk. Apakah Anda melihat ada kekurangan dalam imanku, atau cela dalam perilakuku? D        Hal ini tidak ada hubunganya dengan kekurangan dalam iman atau cela, nak. Hal ini merupakan sesuatu yang lain, sangat berbeda dan amat berbahaya. Oleh karena itu, aku ingin engkau bersiap-siap dan mengetahui beberapa isu tanpa harus terkejut.

S        OK, Pak! Apakah hal penting dan berbahaya sehingga harus kuketahui setelah mencapai usia baligh? D        Aku ingin katakan kepadamu bahwa apa yang engkau telah pelajari dari belajar ihwal agama adalah keliru. S        Apa?!  Dad! Apa yang Anda katakan?!

D        Sebagaimana yang telah aku katakana, seluruh yang engkau dengar dariku ihwal agama adalah salah (sama sekali).

S        Dad! Apa yang Anda katakan?! Apa yang Anda maksudkan? Aspek agama yang mana yang salah? Aspek ideologi? Akhlak? Tolong Dad, katakanlah yang benar kepadaku.

D        Aku maksud dasar-dasar agama, ideologi: iman kepada Tuhan, ma’ad (hari kiamat), Nabi dan para rasul dan apa yang telah engkau pelajari adalah salah dan keliru.

 S        Astaga. Dad, ada apa denganmu? Maaf Dad karena agak lancang. Bagaimana iman kepada Tuhan, hari kiamat dan para nabi adalah sesuatu yang salah? Aku tidak dapat mempercayai dari apa yang aku dengar.

D        Aku akan menjawab pertanyaan ini besok.

S        Dad! Tolong berterus teranglah dengan apa yang Anda inginkan, karena Anda telah membuatku was-was. Bagaimana Anda dapat meninggalkan aku dalam keadaan seperti ini? Lalu bagaimana aku menunaikan salat, sementara aku dalam keadaan was-was dan ragu-ragu.

D        Siapa yang menyuruhmu salat?

 S        Bukankah Anda yang menyuruhku untuk salat dan mengerjakannya dengan sabar?

 D        Kalau begitu salatmu tidak diterima sama sekali.

S        Tidak diterima? Apa maksudnya? Kalau begitu, haruskah aku meninggalkan salat?

D        It is up to you, apakah engkau ingin mengerjakan salat atau tidak.

S        Aneh. Aku bisa jadi gila. Bagaimana bapakku menyuruhku untuk meninggalkan salat? Bagaimana? Bapakku yang mengajarkanku salat, kini menyuruhku untuk meninggalkannya!

D        Aku tidak memintamu utuk meninggalkan salat. Aku berkata bahwa engkau bisa meninggalkannya atau melanjutkannya, sebagaimana yang engkau sukai.

S        Ajib. Tidakkah Anda berkata bahwa salat merupakan tiang agama dan hal pertama yang akan ditanyakan kepadaku kelak di hari kiamat?  Dan Allah berfirman: “Dirikanlah salat secara tetap untuk bersyukur kepadaku.”

D        Aku berkata bahwa apa yang telah engkau dengar dariku selama ini sebelum usia balighmu adalah salah. S        Dad, haram hukumnya berkata demikian!

D        Apa artinya haram itu??

S        Haram artinya bahwa Tuhan tidak mengizinkan hal tersebut.

D        Tuhan? Siapa Tuhan itu?

S        Ya Tuhan..ini kegilaan!

D        Jangan lekas marah. Aku bertanya kepadamu sebuah pertanyaan; berikan jawaban atau katakan “Aku tidak tahu.”

S        Tapi Anda bertanya “Siapa Tuhan itu?”

D        Ada yang salah dengan pertanyaan itu?

 S        Pak, please! What is going on? Apakah engkau benar-benar dirimu, bapakku, apakah Anda tahu apa yang Anda katakan? Saya tidak dapat mempercayai hal ini.

 D        Iya, Aku bapakmu yang mengatakan hal ini. Jika aku tidak melakukan hal ini, maka aku bukan bapakmu. S        Oh..My God! Apa yang telah terjadi?

D        Kita akan lanjutkan diskusi ini besok. Sekarang pergilah tidur. Selamat malam!

(dedicated to those who has just reached puberty (15th) , congratulation!)

3 Tanggapan

  1. aku mengalami kegilaan ini setiap detik dalam diriku yang terus-menerus berdiaslog menemukan dan meniti jembatan penyatuan dengan-NYA!!!

    MAri menggila sahabat…

  2. Salam
    Ikut nimbrung komentar nih
    Anda dapat menyebut hal ini sebagai “kegilaan” namun sejatinya merupakan “kewarasan” karena orang yang terus menerus berdialog dan meniti jembatan penyatuan dengan-Nya merupakan perlambang “kewarasan” karena Dia tidak dapat disatui kecuali dengan “kewarasan” (baca dengan akal dan syuhudi)

  3. Salamm
    Trims atas nice and provokatif commentnya
    Memang terkadang orang-orang yang meniti jalan menuju Tuhan terkadang menyebut jalan ini sebagai jalan “junun” (kegilaan, dalam bahasanya Nique) lantaran orang-orang yang sejatinya asyiq (pekasih, pecinta) kepada masyuq (kinasih) telah melupakan segalanya dan rela mengorbankan segalanya demi yang dicinta. Sehinga kita banyak menemukan kisah-kisah roman percintaan yang langsung bertalian dengan Tuhan atau berasaskan cinta kepada Tuhan, seperti kisah, Laila dan Majnun, Rabiah al-Adawiyah, Yusuf- Sulaikha, atau dalam tataran yang lebih tinggi, kisah pengorbanan al-Husain di Karbala yang didasari cinta, atau kisah altruistik Abbas saudara al-Husain yang menghempaskan air kembali ke bumi, di saat-saat dahaga memuncak memenuhi tenggorokannya, lantaran cinta yang memuncak kepada al-Husain yang merupakan cerminan cinta Tuhan.
    Bahasa Nique memang bahasa provokatif, tapi mencerahkan..
    Gimana kalau kita sepakat menyebutnya alih-alih sebagai kegilaan, tapi sebagai ekspresi cinta kepada Sang Kinasih. What do you say?

Tinggalkan komentar